KOMPAS.com
- Bisa jadi, keputusan saya dan suami adalah kontroversial, yaitu
mengajak anak kami sejak usia 2.5 tahun untuk naik gunung, bahkan di
musim hujan sekalipun. Sebagian yang tidak mengenal kami secara dekat
mencibir, bahkan tak jarang, mengatakan kami orang tua egois. Sementara
itu, sebagian lainnya bilang salut dan mendukung.
Kami berdua
tentu tahu risiko itu, yaitu pandangan miring membawa anak mendaki
gunung di usia dini. Maka, lepas dari kontroversi setuju dan tidak
setuju, saya tetap berupaya memaparkan alasan saya mengajak atau membawa
anak saya mendaki gunung.
Semua orang tahu, mendaki gunung kerap
kali diidentikan dengan kegiatan "heroik". Bahkan, ini dianggap
olahraga yang menyerempet bahaya, dan tentu saja; kematian (Baca: Jangan Mau Mati Konyol di Gunung!).
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Secara sadar, tentu saja, melakukan persiapan perjalanan pendakian akan
melatih seseorang terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh
perhitungan di setiap langkahnya.
Memang, semua itu benar adanya, terutama jika dilakukan tanpa bekal
pengetahuan yang cukup dan persiapan matang. Bukan apa-apa. Mendaki
gunung adalah aktivitas yang jelas-jelas melibatkan kegiatan fisik berat
di tengah alam yang sulit ditebak kondisinya.
Pendidikan karakter nomer wahid
"Now I see the secret of making the best person:
it is to grow in the open air,
and to eat and sleep with the earth."
(Walt Whitman)
Seperti
kegiatan di alam bebas lainnya, sejatinya, mendaki gunung bagaikan
sedang menjalani kehidupan. Aktivitas pendakian gunung memiliki banyak
bahan pengajaran pendidikan karakter yang pastinya dibutuhkan seseorang
jika ingin sukses dan bahagia dalam hidupnya.
Kata "karakter" di
sini maksudnya bagaimana seseorang menampilkan kebiasaan positif dalam
menyikapi segala kejadian yang dihadapinya dalam kehidupan. Kebiasaan
positif itu tentunya dapat dipelajari dan perlu dibangun/dilatih.
Melalui kegiatan mendaki gunung, seseorang dapat membangun karakter
positif dirinya dengan alamiah.
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Namun, disamping semua manfaat yang tertulis di atas, saya merasa,
melalui kegiatan naik gunung, anak saya yang kini berusia 5,5 tahun
tumbuh menjadi anak yang gembira dan percaya diri. Terbukti, di balik
kata
Mendaki gunung bukan kegiatan impulsif karena kegiatan ini mengharuskan
seseorang melakukan persiapan dengan baik. Maka, seseorang yang hendak
melakukan aktivitas ini sebenarnya telah belajar banyak hal positif,
bahkan sejak persiapan awal dilakukan. Persiapan itu diantaranya
meliputi penentuan tujuan, merancang target perjalanan, mencari tahu
support system
yang ada (misalnya letak rumah sakit terdekat), mempelajari tips dan
penanganan darurat ketika menghadapi kondisi darurat, atau membuat
daftar peralatan dan perbekalan yang dibutuhkan untuk mendaki.
(Baca: Pelajaran Penting dari Kematian Pendaki di Gunung Gede).
Secara
sadar, tentu saja, melakukan persiapan perjalanan pendakian akan
melatih seseorang terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh
perhitungan di setiap langkahnya. Dua hal ini pasti dibutuhkan dalam
menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan
perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas segala
aktivitas yang akan dilakukannya.
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Rasa cinta pada alam tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur
perjalanan wisata atau menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan
bahwa,
Kedua, soal cinta terhadap alam dan lingkungannya. Rasa cinta pada alam
tidak bisa tumbuh hanya dengan melihat brosur perjalanan wisata atau
menonton televisi. Soe Hok Gie pernah menuliskan bahwa, "Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan Seseorang hanya
dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan,
mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal
Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari
pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat".
Dalam
perjalanan mendaki gunung, seseorang disuguhkan pada keindahan dan
kemegahan alam pegunungan. Dengan hadir secara langsung, semua panca
indra terlibat untuk membuktikan alam begitu indah sehingga kita
bertanggung jawab untuk selalu memeliharanya.
Ya, seseorang akan
dilatih untuk menjadi seseorang yang penuh cinta pada lingkungannya,
terasah untuk bertanggung jawab pada dunia, paling tidak pada lingkungan
di sekitarnya. Tidak membuang sampah sembarangan atau merusak ekosistem
yang ada menjadi pelajaran paling sederhana namun sangat penting yang
bisa didapat melalui aktivitas naik gunung.
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Belum lagi udara dingin menggigit, sementara oksigen yang kian tipis
membuat napas menjadi lebih berat dan tersengal. Untuk itulah, seseorang
yang mendaki gunung diharuskan membawa perlengkapan maksimal dalam
sebuah tas ransel. Artinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan
pendakian dengan beban yang dipikulnya untuk mencapai tujuan; yaitu
puncak gunung.
Sementara itu, pelajaran ketiga bisa diambil dari mendaki gunung adalah
pelajaran tentang disiplin, tanggung jawab, tidah mudah putus asa, serta
berani mengambil keputusan dengan tepat. Karena, ketika melakukan
pendakian, seseorang dihadapkan pada banyak tantangan.
Tentu
saja, medan perjalanan sudah pasti menanjak, tidak rata, dan pastinya
menguras tenaga. Jalur pendakian kerap tidak begitu jelas, dan banyak
kali ditemukan persimpangan. Sering kali jurang terbentang di kiri atau
kanan jalan setapak, menghentikan rencana perjalanan.
Belum lagi
udara dingin menggigit, sementara oksigen yang kian tipis membuat napas
menjadi lebih berat dan tersengal. Untuk itulah, seseorang yang mendaki
gunung diharuskan membawa perlengkapan maksimal dalam sebuah tas
ransel. Artinya, butuh perjuangan keras untuk melakukan pendakian dengan
beban yang dipikulnya untuk mencapai tujuan; yaitu puncak gunung.
Mungkin,
beberapa orang melihat semua hal di atas adalah masalah sehingga
menghindar diri dari kegiatan ini. Naik gunung adalah hobi atau olahraga
yang melelahkan!
Namun, menyikapi semua hal itu, seseorang
memiliki kesempatan untuk belajar melihat, mengamati, menganalisa,
menyiasati, mengantisipasi, mengambil keputusan, atas situasi dan
kondisi yang ada. Seseorang dilatih untuk tidak cepat berkeluh kesah dan
berjuang untuk mencapai tujuan lebih besar. Seseorang bisa belajar
disiplin dan mengelola rasa malas dan lelah demi mencapai tujuan yang
diinginkan. Seseorang belajar untuk berlaku berani, namun dengan prinsio
berhati-hati.
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Seseorang dilatih untuk tidak cepat berkeluh kesah dan berjuang untuk
mencapai tujuan lebih besar. Seseorang bisa belajar disiplin dan
mengelola rasa malas dan lelah demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Seseorang belajar untuk berlaku berani, namun dengan prinsio
berhati-hati.
Contoh latihan disiplin adalah ketika beristirahat, sangat dianjurkan
seseorang untuk mengambil jaket untuk memelihara panas tubuh yang ada.
Sebab, sering kali, panas tubuh perlahan menghilang berganti dengan rasa
dingin menggigit. Rasa lelah sering kali membuat seseorang malas untuk
bergerak membuka tas untuk mengambil dan kemudian mengenakan jaket. Nah,
di sinilah seseorang belajar untuk disiplin mengelola rasa malas dan
bergerak meraih ranselnya, mengeluarkan jaket, dan mengenakannya. Sebab,
dengan mengabaikan disiplin, tujuan tak akan didapat, dan sesuatu yang
tidak diharapkan dapat terjadi.
Dalam kehidupan keseharian,
banyak kejadian tidak mengenakan terjadi hanya karena kita tidak
berhasil disiplin. Kita kerap enggan mengalahkan rasa malas yang ada.
Bahkan, seseorang sering kali memiliki banyak ketakutan ataupun
kekhawatiran dalam dirinya sebelum melakukan sesuatu yang menjadi
tujuannya. (
Baca: Waduh... Itu Gejala Hipotermia, Bukan Kesurupan!)
Dari
sini, bisa disimpulkan, bahwa aktivitas mendaki gunung memungkinkan
seseorang mengalami rasa takut dan cemas akan kondisi yang timbul di
lapangan. Namun, pengalaman mendaki lambat laun memberikan kesempatan
pada seseorang untuk mengelola rasa takut dan kekhawatiran yang timbul
dengan melakukan tindakan yang diperlukan.
Selain itu, pelajaran
penting lainnya, mendaki gunung merupakan olahraga yang melibatkan
individu lain. Maka, dalam melakukan perjalanan mendaki, sering kali
kita dihadapkan pada kondisi medan yang sulit, sementara tidak semua
teman seperjalanan memiliki kemampuan fisik yang merata. Dalam
perjalanannya, seseorang mungkin akan kedinginan, terpeleset, jatuh,
ataupun merasa lelah. Peserta pendakian masing-masing berkesempatan
memberikan bantuan, dukungan, ataupun perhatian satu sama lain. Di
sinilah, mendaki gunung melatih seseorang untuk peka akan kondisi yang
ada. Karakter suka menolong bisa terasah melalui kondisi seperti ini.
Pun,
ketika mendaki, sesama rekan pendaki bisa berbeda pendapat dalam
menentukan jalur yang dilewati atau target yang hendak dicapai. Melalui
mendaki gunung, seseorang dilatih untuk mengenal kepribadian dan
karakter berbagai individu. Seseorang berlatih untuk mengembangkan
kemampuan interpersonal, termasuk di dalamnya berlatih menyikapi setiap
karakter, kemampuan dan kecakapan berbeda yang dimiliki oleh
masing-masing anggota tim pendakian.
Rasanya, di sinilah
seseorang bisa belajar untuk menjadi rendah hati dan mau mendengarkan
pendapat orang lain dengan penuh perhatian, mengemukakan pendapat dan
bernegosiasi, bijak terhadap kondisi sulit, tegas, tapi juga memiliki
sikap toleransi sekaligus mementingkan kepentingan kebanyakan orang dan
tidak egois. Saya sendiri mempercayai, banyak dari teman-teman mendaki
gunung saya, adalah teman teman terbaik.
Pengalaman meditasiLebih
dalam lagi, selain menjadi kegiatan sosial, aktivitas mendaki gunung
bagi saya merupakan kegiatan meditatif. Dikatakan pengalaman meditasi,
karena pada saat mendaki, saya seperti seseorang yang sedang
bermeditasi, belajar untuk fokus pada apa yang sedang saya lakukan pada
saat itu saja.
Ya, saya hanya akan berfokus pada mengatur nafas
dan memperhatikan langkah. Saya belajar untuk tidak menghawatirkan masa
lalu maupun apa yang akan terjadi di kemudian hari. Saya belajar untuk
hadir secara sadar pada setiap detik. Ini suatu skil yang penting dalam
menjalani kehidupan sehari hari, yaitu hadir secara penuh dalam setiap
detik untuk fokus melakukan yang terbaik.
Dok Nouf Zahrah Anastasia
Tentu saja, pembentukan karakter tidak lahir sekonyong-konyong, namun
membutuhkan latihan panjang dan dimulai sedini mungkin. Mempercayai
bahwa aktivitas mendaki gunung adalah sarana pendidikan karakter yang
alami, oleh karena itulah, saya memutuskan untuk memperkenalkan
aktivitas mendaki gunung pada anak saya sedini mungkin, yaitu sejak usia
2,5 tahun.
Tentu saja, pembentukan karakter tidak lahir sekonyong-konyong, namun
membutuhkan latihan panjang dan dimulai sedini mungkin. Mempercayai
bahwa aktivitas mendaki gunung adalah sarana pendidikan karakter yang
alami, oleh karena itulah, saya memutuskan untuk memperkenalkan
aktivitas mendaki gunung pada anak saya sedini mungkin, yaitu sejak usia
2,5 tahun.
Namun, disamping semua manfaat yang tertulis di
atas, saya merasa, melalui kegiatan naik gunung, anak saya yang kini
berusia 5,5 tahun tumbuh menjadi anak yang gembira dan percaya diri.
Terbukti, di balik kata "heroik" dan penuh bahaya, aktivitas mendaki
gunung ternyata memberi sejumlah manfaat untuk anak saya ini. Berbekal
pengetahuan sedini mungkin tentang kegiatan mendaki gunung, kegiatan ini
menjadi kegiatan sangat menyenangkan sekaligus menjadi pendidikan
karakter bagi dirinya dan orang lain yang ingin menjalaninya.
Jadi, mari mendaki gunung dan jadikan aktivitas ini sebagai ajang mengembangkan karakter anak-anak kita!
ANISA RAMADIANA
NIS:181